Pergeseran Makna Cinta
Oleh Akbar Novriansya
PANJIMAS.COM – Dalam ilmu bahasa, kita mengenal istilah pergeseran makna kata. Pergeseran bisa ke arah konotatif positif maupun negatif. Pergeseran makna berkaitan erat dengan perluasan dan penyempitan makna kata. Dengan kata lain suatu kata bisa berubah artinya seiring perputaran masa.
Tentu tiada asap tanpa ada api. Pergeseran makna kata, tentu ada pelaku yang menggesernya. Jadi siapa pelakunya?. Pelakunya adalah yang sering berbicara di depan publik. Lalu siapa saja mereka?. Siapa lagi kalau bukan, pemerintah, guru, penulis buku, penceramah, dan media berita.
Pertanyaan berikutnya, dari kelima itu siapa yang paling banyak didengar? Ya, pemerintah dan media. Jadi Pemerintah dan Media memiki andil besar dalam menggeser makna suatu kata, baik kearah makna positif, negatif, diperluas, ataupun dipersempit.
Bila disebutkan kata cinta, mungkin langsung muncul di benak khalayak akan pacaran, bermesraan, jalan-jalan berdua, gandengan tangan, dst. Bahkan kata “love” di Amerika identik dengan sex. Padahal cinta lebih dari pada itu. Dalam bukunya “Serial Cinta”, Anis Matta berkata, “Begitulah cinta, Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda, Tak terlihat, hanya terasa, Tapi Dahsyat”.
Kata cinta hampir mirip dengan taqwa yang berarti menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Taqwa adalah kaedahnya sedangkan cinta yakni lebih kepada semangat, rasa yang kuat, hati yang betul-betul terpaut untuk menjalankan perintah maupun larangan.
Kata cinta disebutkan oleh Allah ta’ala di 16 ayat di al-Qur’an. Kata cinta di al-Qur’an ini berkaitan dengan Cinta seorang hamba kepada Allah ta’ala dan sebaliknya, cintanya orang kafir kepada berhala-berhala mereka, cintanya manusia kepada wanita, anak, harta, keluaga, kawan, tanah-ladang, dan pekerjaannya (perniagaan). Cinta juga berarti saling memberi dan mengikuti (folowing)
“Katakanlah (Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Jadi bila cinta sudah begitu kuat, seseorang bisa didorong untuk beramal dan bisa pula dibujuk untuk melakukan maksiat. Seperti hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (Seseorang itu bersama orang yang dicintainya pada hari kiamat). Maka pilih, pilah dan berhati-hatilah dalam mencinta.
Menurut Dr. Thariq Kamal an-Nu’aimi, dalam bukunya Psikologi Suami Istri, mengatakan bahwa cinta itu berkembang dan terus memancar cahayanya bila “kadar memberi” diantara keduanya sama atau salah satunya sedikit melebihi yang lainnya. Apabila pemberian satu pihak jauh tak berbalas maka kadar cinta diantara dapat lebar bak jurang, jadilah cinta itu perlahan memudar.
Di lain sisi, Allah murka kepada orang yang lebih mencintai sesuatu lebih dari pada diri-Nya,
“Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (QS. at-Taubah: 24)
Wallahu a’lam bishawab