ISIS, Musuh Amerika atau Indonesia?
Oleh: Nu’im Hidayat
Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSTISTS)
PANJIMAS.COM – Tidak mudah menelisik ISIS. Karena media-media besar di Indonesia, semuanya menghabisi ISIS. Media-media itu mengambil berita dari media-media Barat yang juga hampir semuanya menghabisi ISIS. ISIS memang ancaman buat Amerika. Selama pengagum ISIS di Indonesia tidak mengumpulkan senjata dan melakukan aksi kekerasan (kriminal), seharusnya mereka tidak disalahkan. Pemerintah Indonesia seharusnya juga berani menasehati pemerintah AS agar tidak rakus terhadap minyak di AS.
Fauzan Al Anshari, pengasuh sebuah pondok pesantren di Ciamis, Jawa Barat, ketika dikonfirmasi tentang dukungannya kepada ISIS, mengatakan: “Seperti supporter bola.” Sebagai Muslim nampaknya Fauzan merasa gembira ada perlawanan gerilyawan Muslim Irak di sana.
Entah ada apa, tiba-tiba presiden SBY rapat dengan Menkopolhukam Djoko Suyanto, BNPT dan lain-lain hari itu. Dan tiba-tiba Djoko mengumumkan larangan terhadap ISIS/IS. BNPT pun langsung mengambil inisiatif. Bersama-sama Menteri Agama dan MUI langsung mengecam ISIS. Entah karena apa, sebelum mengadakan kajian yang mendalam, MUI pun mengundang ormas-ormas Islam untuk mengecam ISIS. Dan merasa ada dukungan dari MUI, maka pihak kepolisian pun langsung melakukan aksi ke seluruh wilayah Indonesia. Pendukung-pendukung ISIS ditangkap, dimintai keterangan dan bendera-bendera ISIS, Laailaahaillallah, di seluruh Indonesia ‘dihapuskan’ dan dilarang.
Tidak mudah menelisik ISIS. Karena media-media besar di Indonesia, semuanya menghabisi ISIS. Media-media itu mengambil berita dari media-media Barat yang juga hampir semuanya menghabisi ISIS
Di belahan dunia lain, ketika banyak tokoh di Indonesia mengecam ISIS, Amerika meluncurkan bom-bomnya menghancurkan markas ISIS di Irak (8/8/2014). Bersamaan dengan itu, diekspos oleh media Barat tentang pelarian warga-warga Kristen ke gunung, karena takut kepada ISIS. Sedangkan pemimpin ISIS, Abu Bakar Al Baghdadi sudah dihabisi media Barat karakternya. Salah satunya adalah dia menggunakan jam mewah ketika pidato pendeklarasian ISIS di sebuah masjid di Irak.
ISIS memang menjadi kontroversi. Di kalangan ulama-ulama Islam sendiri. Sebagian ada yang mengecam habis ISIS, sebagian ada yang mendukung ISIS. Sebagian lain karena kebingungan melihat fakta-fakta media di ISIS memilih diam. “Wait and see,” kata seorang ustadz.
Memang ketika media-media Barat, diikuti media-media besar kita, hampir semuanya mengecam ISIS, banyak orang kebingungan. Benarkah ISIS seperti itu? Benarkah ISIS kejam sebagaimana diberitakan? Apakah ISIS bukan merupakan gerilyawan Muslim Irak biasa yang mencoba melawan dominasi Amerika disana? ISIS hanya membahayakan rezim Amerika dan antek-anteknya di sana atau masyarakat dunia? Dan seterusnya.
Sejarah Invasi Amerika di Irak
Ketika Presiden Bush akan menginvasi Irak (2003), timbul perdebatan di pemerintahan Amerika. Saat itu Bush beralasan bahwa Al Qaida bermarkas di Irak dan Irak mempunyai persenjataan yang membahayakan. Irak pun akhirnya diserang membabi buta. Tony Blair, PM Inggris saat itu turut mendukungnya. Baghdad, Nashiriya, Umm Qasr dan Bahsrah digempur habis-habisan oleh pesawat-pesawat dan pasukan-pasukan koalisi Amerika. Lebih dari 1000 rudal Tomahawk diluncurkan untuk menghancurkan bangunan-bangunan penting di Irak.
Perang itu dilancarkan Bush setelah pemerintah Irak dengan maksimal bekerjasama dengan Tim Pemeriksa Senjata Pemusnah Massal PBB untuk menghancurkan rudal Irak, Al Samoud II (daya jelajah sekitar 180 km) sebanyak 50 buah. Juga setelah Irak diblokade perdagangan dan pesawatnya selama 12 tahun sejak 1991.
Apa alasan sebenarnya Amerika menggempur habis Irak? Banyak pakar menyatakan faktor utamanya adalah Amerika mengincar minyak di Irak untuk keberlangsungan negaranya di masa kini dan masa depan. Amerika dikenal sebagai negara di dunia yang termasuk ‘paling boros’ bahan bakar. Cadangan minyak Irak ditaksir lebih dari 36 milyar barel.
Sebelum melakukan penyerbuan sebenarnya koalisi Amerika melakukan ultimatum kepada rakyat Irak (Maret 2003). Pasukan AS saat itu menyebarkan 28 juta selebaran ke rakyat Irak dengan harapan agar mereka melakukan revolusi kepada presidennya Saddam Hussein. Selebaran-selebaran itu juga berisi daftar nama dan nomor telepon tentara-tentara elit AS yang dapat dihubungi bila mereka memerlukan bantuan. Tapi ultimatum AS itu gagal, karena rakyat Irak menolak menggulingkan Saddam dan memilih melakukan perlawanan terhadap koalisi AS. (Lihat buku Imperialisme Baru, Nuim Hidayat, GIP, 2009).
Irak akhirnya dihancurkan, lebih dari 500 ribu Muslim Irak meninggal. Saddam Husein, presiden Irak pun akhirnya tertangkap dan dihukum gantung koalisi pasukan Amerika. Pemerintah Amerika akhirnya memilih Nur Maliki sebagai PM Irak hingga kini. Maliki pun menjadi ‘boneka pemerintah AS’ yang harus tunduk dalam pengambilan kebijakan Washington.
Apa alasan sebenarnya Amerika menggempur habis Irak? Banyak pakar menyatakan faktor utamanya adalah Amerika mengincar minyak di Irak untuk keberlangsungan negaranya di masa kini dan masa depan. Amerika dikenal sebagai negara di dunia yang termasuk ‘paling boros’ bahan bakar. Cadangan minyak Irak ditaksir lebih dari 36 milyar barel. Agresi brutal Amerika ke Irak, juga mungkin karena dendam pribadi turun menurun keluarga presiden Bush kepada Saddam.
Perang Propaganda
Selain perang fisik secara brutal yang dilakukan AS dan sekutunya ke umat Islam Irak, AS saat itu juga melakukan perang propaganda lewat media cetak dan televisi. CNN dan New York Times adalah dua diantara dua media massa yang melakukan dukungan moral kepada pasukan AS di Irak. Wartawan-wartawan CNN diberikan kekuasaan penuh oleh tentara-tentara AS meliput langsung kejadian sedetail-detailnya dengan menaiki kendaraan-kendaraan tank atau pesawat-pesawat yang dimiliki sekutu.
Di Baghdad saat itu, ketika masih dikuasai Saddam, wartawan-wartawan AS sangat dibatasi. Pernah dua wartawan CNN diusir dari kota 1001 malam itu. Pemerintah Saddam saat itu –sebelum jatuh- membuka akses lebar-lebar kepada wartawan-wartawan dari negara lain, kecuali wartawan dari AS. TV Al Jazeera dan Al Arabiyya merupakan dua stasiun televisi internasional yang coba mengimbangi TV-TV Barat.
Selain perang fisik secara brutal yang dilakukan AS dan sekutunya ke umat Islam Irak, AS saat itu juga melakukan perang propaganda lewat media cetak dan televisi. CNN dan New York Times adalah dua diantara dua media massa yang melakukan dukungan moral kepada pasukan AS di Irak.
Ketika Al Jazeera menayangkan tawanan-tawanan AS yang ditahan oleh pemerintah Irak di televisi, Presiden Bush dan Rumsfeld gusar. Mereka menyatakan bahwa Pemerintah Irak melanggar Konvensi Jenewa dan bisa dinyatakan sebagai penjahat perang. Namun ucapan yang keluar dari mulut Bush dan Rumsfeld itu mendapat cemoohan dari beberapa media massa internasional. Diantaranya dari The Independent Inggris,” Beberapa kali tawanan di Guantanamo Bay dipamerkan di depan televisi. Mereka diambil gambarnya dalam kondisi yang sengaja menghinakan mereka. Dikurung dalam kerangkeng besi, ditelanjangi dan diinterogasi dengan mata tertutup.” (Lihat buku, Imperialisme Baru)
Gemilangnya Al Jazeera dalam menyiarkan tragedi Irak (sebelumnya Afghanistan) ini membuat Bush kalang kabut. Bush pernah secara resmi meminta Emir Qatar, Syekh Hamad bin Khalifah ath Thani untuk mengekang atau membubarkan Al Jazeera. Tapi Emir Qatar itu menolak.
Indonesia dan ISIS
Banyak orang bertanya apa sebenarnya di balik secara mendadak Presiden SBY melarang ISIS. Apakah SBY mendapat tawaran menarik dari pemerintah AS atau SBY khawatir ISIS akan meluas ke Indonesia dan menimbulkan kerusuhan atau yang lain masih belum jelas. Yang jelas kini banyak masyarakat yang ikut-ikutan deklarasi ISIS, karena melihat ISIS adalah gerilyawan Muslim yang melawan AS, ditangkap dan dimintai keterangan. Bendera atau logo-logo ISIS yang ditulis di tembok-tembok pun ramai-ramai dihapus atas perintah kepolisian.
Seharusnya pemerintah lebih bijak dalam melihat ISIS. ISIS hanyalah gerilyawan Muslim Irak biasa yang mencoba melakukan perlawanan dominasi Amerika di Irak dan sekitarnya. ISIS menggunakan isu khilafah, untuk menyatukan pejuang Irak, karena isu itu mungkin yang paling mudah dipahami oleh masyarakat Muslim Irak di sana. Karena mereka mungkin telah muak kepada Amerika dan rezim yang ditanam Amerika di sana. Cabang ISIS di Indonesia pun bisa dipastikan tidak ada. Mengenai Abu Bakar Ba’asyir kabarnya berbaiat kepada ISIS, maka hal itu biasa saja. Karena Ba’asyir mungkin merasa jiwanya ikut terpanggil untuk melawan pasukan Amerika di sana. Apabila Ba’asyir dan pendukung ISIS lainnya, tidak mengumpulkan senjata atau mengadakan tindakan kriminal di tanah air, maka sebenarya kepolisian tidak sah melakukan penangkapan. Sekedar mendukung gerilyawan ISIS di Irak apakah tindakan kriminal? Kita juga yakin tentu ‘banyak’ pula di Indonesia yang mendukung operasi militer AS disana.
Banyak orang bertanya apa sebenarnya di balik secara mendadak Presiden SBY melarang ISIS. Apakah SBY mendapat tawaran menarik dari pemerintah AS atau SBY khawatir ISIS akan meluas ke Indonesia dan menimbulkan kerusuhan atau yang lain masih belum jelas.
Pertanyaan banyak orang: Siapa yang paling bersalah di Irak sebenarnya. Gerilyawan ISIS atau pasukan koalisi AS dan pemerintah bonekanya disana. Milik siapakah tanah Irak dan kenapa Irak menjadi hancur-hancuran sekarang ini? Kelompok ISIS, sebagaimana gerilyawan perang umumnya, tentu kadang melakukan kesalahan. Tapi tidak adil, bila semua kesalahan ditimpakan kepada ISIS dan semua kebaikan ditimpakan kepada Amerika. Memang dalam perang, seorang tokoh sering jadi kontroversi. Diponegoro disebut pejuang oleh bangsa Indonesia, namun disebut pemberontak oleh pemerintah penjajah Hindia Belanda dan antek-anteknya.
Walhasil saatnya pemerintah Indonesia berdiri tegak untuk berani menasehati pemerintah AS agar tidak rakus terhadap minyak di Irak. Tinggalkan Irak dan ladang-ladang minyaknya. Biarkan masyarakat Muslim Irak yang mengelola negerinya sendiri. Bila AS tidak punya minyak di masa depan nanti, masyarakat dunia tentu akan beramai-ramai membantu AS, asalkan AS tidak bersikap seperti Fir’aun, mau menang sendiri dan terus menerus semena-mena terhadap bangsa lain. Wallahu alimun hakim. [Nuim Hidayat/SI]