Panjimas.com-Badan intelijen merupakan salah satu alat negara, bukan alat pemerintah atau alat dari rezim tertentu yang sedang berkuasa. Namun dalam kenyataannya, terutama selama rezim Orde Baru berkuasa, badan intelijen lebih terkesan sebagai alat penguasa. Oleh karena itu operasi yang dilakukan pun sesuai dengan kepentingan penguasa baik luar ataupun dalam.
Ali Moertopo dan Ekstrim
Konon Sosok intelijen yang paling dikenal dan licin adalah Ali Moertopo, meski ia belum pernah berhasil menduduki posisi puncak di lembaga intelijen. Ali pertama kali secara resmi berkiprah di dalam lembaga intelijen negara adalah pada tahun 1969 1974, ketika Mayjen TNI Sutopo Yuwono menjabat sebagai Kepala BAKIN, dan Ali Moertopo mendampinginya sebagai Deputy Kepala BAKIN.
Pada tahun 1974-1989, ketika Kepala BAKIN dijabat oleh Letjen TNI Yoga Soegama, Mayjen TNI Ali Moertopo menjabat sebagai Wakil Kepala BAKIN, selama kurang lebih empat tahun (1974-1978). Posisinya kemudian digantikan oleh Mayjen TNI LB Moerdani (1978-1980), yang juga menjabat sebagai Ketua G-I/Intel Hankam. Sebelum 1974, agenda kerja intelijen lebih banyak mengurusi ekstrim kiri (komunis), dwikora (konfrontasi dengan Malaysia), korupsi, pengamanan Pemilu, Timor Timur (yang kala itu masih dijajah Portugis). Baru setelah tahun itu masuklah agenda mengawasi ekstrim kanan khususnya generasi kedua DI/TII-NII.
Sebelum bergabung dengan TNI, Ali Moertopo pernah bergabung dengan tentara “Hizbullah”, salah satu unsur cikal bakal TNI. Danu M. Hasan adalah salah seorang anak buah Ali di Hizbullah. Pada gilirannya, ketika Ali masuk TNI, Danu bergabung ke dalam DI/TII. Danu M. Hasan sempat menjabat Komandeman DI/TII se Jawa. Kelak, pasukan Danu berhasil ditaklukkan oleh Banteng Raiders yang dikomandani Ali Moertopo. Perjalanan berikutnya, pasca penaklukan, terjalinlah hubungan yang lebih serius antara Ali dengan Danu di dalam kerangka “membina mantan DI/TII”. Pada persidangan kasus DI/TII, 1980-an, terungkap bahwa Ali Murtopo secara khusus menugaskan Kolonel Pitut Soeharto untuk menyusup ke golongan Islam, antara lain dengan mengecoh Haji Ismail Pranoto (Hispran) di Jawa Timur. Di Jawa Barat, Pitut “membina” Dodo Kartosoewirjo dan Ateng Djaelani. Namun gagal, kecuali Ateng Djaelani, sehingga di kalangan pimpinan DI dia dianggap pengkhianat.
Pada 1976 muncul kasus Komando Jihad (Komji) yang merupakan muslihat cerdik Ali Moertopo. Menggunakan istilah Islam sebagai perangkap menjebak umat Islam. Pada mulanya, Ali Moertopo mengajak para petinggi DI untuk menghadapi bahaya komunisme dari Utara (Vietnam). Ketika itu Vietnam yang komunis berhasil mengalahkan tentara Amerika (1975). Perang Vietnam berlangsung sejak 1961. Kemenangan komunisme Vietnam, kemudian dijadikan momok dan ancaman bagi Indonesia yang sejak awal Orde Baru sudah menjadi ‘sekutu’ AS. Karena, sejak awal 1970-an sudah terlihat kecenderungan bahwa AS akan dikalahkan oleh kekuatan komunis Vietnam.
Dengan alasan menghadapi ancaman komunisme dari utara itulah, petinggi DI pasca wafatnya Imam NII, As-Syahid Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, diminta mengorganisasikan laskar, semacam Pam Swakarsa. Dalam waktu relatif singkat terkumpullah ribuan orang dari seluruh penjuru Nusantara, siap menghadapi bahaya komunisme dari utara.
Semangat membela tanah air dan mempertahankan aqidah Islam dari bahaya komunisme inilah yang menjadi alasan bagi sejumlah orang sehingga mau terlibat. Mereka yang berhasil direkrut pada umumnya rakyat kebanyakan, mulai dari pedagang, guru mengaji, guru sekolah umum, bahkan ada juga prajurit TNI. Walau sudah berhasil merekrut ribuan orang, namun tidak ada satu tetes perbuatan radikal pun yang dilakukan mereka. Tiba-tiba, secara licik mereka semua ditangkap, dan dipenjarakan dengan tuduhan hendak mendirikan Negara Islam Indonesia, dituduh subversif, dan diberi label Komando Jihad.
Siasat “Pancing dan Jaring” digunakan oleh Moertopo untuk menyusup ke kalangan Islam, melakukan pembusukan dengan berbagai upaya provokasi, kemudian memberangusnya. Operasi intelijen tersebut pada saat ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Densus 88, sebuah detasemen yang juga dikendalikan oleh musuh-musuh Islam, dengan tujuan yang sama. Beberapa peristiwa seperti Komando Jihad, tragedi Haur Koneng, penyerangan Polsek Cicendo, Jamaah Imran, dan Tragedi pembajakan pesawat Woyla, tak lepas dari siasat licik Moertopo.
AM Hendro Priyono dan Gerakan Islam
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono ini mendapatkan anugerah MURI (Museum Rekor Indonesia). Dia diputuskan sebagai mahaguru intelijen pertama di Indonesia dan di dunia. Hendropriyono, mantan Kepala BIN periode 2001-2004 itu dikukuhkan sebagai guru besar bidang intelijen di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Kejahatan Hendro terhadap umat islam menurut catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Koordinator KontraS Haris Azhar, menyebut beberapa catatan penting kasus-kasus pelanggaran HAM itu. Misalnya peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989 yang menelan korban jiwa tidak sedikit.
Hendropriyono yang waktu itu menjabat sebagai Danrem 043/Garuda Hitam, bersama pasukannya menyerang kelompok Warsidi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur. “Korban pembantaian 209 orang. Peristiwa itu tidak selesai sampai sekarang.
Dan masih banyak kasus-kasus yang lain yang belum terungkap lewat kendali Hendro Priyono bahkan alur cerita itu masih berlanjut hingga sekarang.
“Dua per tiga intel sekarang itu masih intel zaman Soeharto,” AM Hendropriyono dalam seminar mencegah gerakan radikalisme di Indonesia di Kemhan, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. (zdn)
Sumber:
-buku Awas, Operasi Intelijen
-TB
– mdk