IDC.News.com-Didalam TAP MPRS No. XX Tahun 1966 beserta lampirannya Junto TAP MPRS No. X Tahun 1966 disebutkan, bahwasanya kedudukan Pancasila didalam NKRI adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum artinya segala permasalahan yang terjadi didalam Negara Indonesia ini, penyelesaiannya haruslah merujuk kepada Pancasila. Dengan kata lain, yang dijadikan pedoman hidup oleh bangsa Indonesia adalah Pancasila.
Sedangkan didalam Islam, sudah sangat jelas bahwa sumber segala sumber hukum tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini merupakan wujud nyata dari tauhid. Allah Ta’ala menurunkan wahyu-Nya yang berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah, berupa syari’at Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Maka menyatakan adanya sumber segala sumber hukum selain Allah Ta’ala merupakan sebuah kesyirikan. Nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bersifat mutlak dan abadi, karena berasal dari Yang Maha Mutlak, Yang Maha Sempurna yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dengan standar nilai yang tetap dan abadi inilah, maka semua manusia yang hidup dalam masyarakat akan mempunyai pedoman yang jelas tentang yang benar yang harus dikerjakan dan yang salah yang harus dijauhi. Standar nilai yang semacam inilah yang bisa bersifat objektif, karena ia bukan dibuat oleh manusia (yang mempunyai rasa kepentingan terhadap sesuatu yang dibuatnya), tetapi dibuat oleh Allah ‘Azza wa jalla yang tidak mempunyai kepentingan apapun dan semata-mata untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Allah menerangkan bahwa membuat aturan atau hukum yang berlandaskan kepada selain hukum Allah adalah berarti orang-orang jahiliyah. Menolak hukum Allah menyebabkan datangnya siksa dan murka-Nya yang tidak dapat dihindarkan, untuk ditimpakan atas orang-orang zhalim. Allah Ta’ala berfirman :
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ
النَّاسِ لَفَاسِقُونَ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (Qs. Al-Maaidah : 49-50)
Berdasarkan ayat di atas, dalam kehidupan ini kita dituntut untuk berpedoman pada Hukum Allah yaitu Syari’at Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Aku tinggalkan padamu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnahku. Tidak akan bercerai-berai sehingga keduanya menghantarkanmu ke telaga (Surga)”. (HR. Ibnu ‘Abdil Bar)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim –Rahimahullah- ketika membahas Firman Allah :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (Qs. Al-Maaidah : 50)
Beliau berkata : “Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja. Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah”. [Risalatu tahkimil Qawanin hal. 11-12]
Maka tidak ada alasan lagi bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, untuk menerima dan tunduk kepada hukum-hukum yang berasal dari sampah pemikiran manusia dan kotoran akalnya. Seluruh hukum buatan yang ada di dunia saat ini, harus kita kupas isinya dan dan kita timbang kebenarannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apabila ia sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, maka tidak mengapa kita menerimanya. Namun, jika ternyata hukum buatan manusia tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, maka kita harus menolaknya, walau setinggi apapun hukum tersebut diagungkan oleh manusia.
Oleh karena itu, sebagai tuntutan wajibnya berhukum kepada hukum Allah ini, kita akan coba sedikit mengupas apa yang terkandung didalam Pancasila dan juga UUD 1945 yang dijadikan sumber segala sumber hukum di negeri ini, dan menimbangnya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Di dalam sila I butir II disebutkan : ”Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan”.
Pancasila memberikan kebebasan orang untuk memilih jalan hidupnya, dan tidak ada hukum yang melarangnya. Seandainya orang muslim murtad dan masuk Nasrani, Hindu, atau Budha, maka itu adalah kebebasannya dan tidak akan ada hukuman baginya. Sehingga ini membuka pintu lebar-lebar bagi kemurtadan. Sedangkan di dalam ajaran Islam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْـتُلُوْهُ
“Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam sangat menjaga agar pemeluknya jangan sampai ada yang murtad, karena kita meyakini bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, sedangkan kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara. Orang-orang yang mati dalam keadaan beriman, maka dia akan mendapatkan surga. Sedangkan orang-orang yang mati dalam keadaan kafir maka dia akan kekal di neraka. Maka, oleh karena kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya, Allah membuat sebuah peraturan yang tegas didalam hal ini, yaitu memberikan hukuman mati bagi siapa saja yang murtad dari Islam. Sehingga dengan hal ini diharapkan umat Islam akan takut untuk murtad dan selamatlah mereka dari neraka yang dahsyat. Inilah makna Rahmatan Lil ’Alamin, yaitu Syari’at menjaga agar manusia hidup dan mati dalam keadaan beriman yang akan membawa kepada keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian di dalam sila II butir I disebutkan : ”Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia”.
Yaitu bahwa tidak ada perbedaan diantara manusia dalam status itu semua dengan sebab dien (agama), sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
قُل لاَّ يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ
“Katakanlah : Tidak sama orang buruk dengan orang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menakjubkan kamu”. (Qs. Al-Maaidah : 100)
Dan firman-Nya :
وَمَا يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ وَلَا الظُّلُمَاتُ وَلَا النُّورُ وَلَا الظِّلُّ وَلَا الْحَرُورُ وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاء وَلَا الْأَمْوَاتُ
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang bisa melihat, tidak pula kegelapan dengan cahaya, dan tidak pula tempat yang teduh dengan yang panas,serta tidak sama orang yang hidup dengan yang sudah mati”. (Qs. Fathir : 19 – 22)
Dia Ta’ala juga berfirman :
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ
“Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”. (Qs. Al-Hasyr : 20)
Allah Ta’ala juga berfirman :
أَفَمَن كَانَ مُؤْمِنًا كَمَن كَانَ فَاسِقًا لَّا يَسْتَوُونَ
“Maka apakah orang yang mukmin (sama) seperti orang yang fasik? (tentu) tidaklah sama”. (Qs. As-Sajdah : 18)
Akan tetapi menurut hukum Pancasila : ”Mereka sama”.
Allah Ta’ala berfirman :
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا يَتَخَيَّرُونَ
“Maka apakah Kami menjadikan orang-orang islam (sama) seperti orang-orang kafir ? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan ? Atau adakah kamu memiliki sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu mempelajarinya, bahwa didalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu ?”. (Qs. Al-Qalam : 35-38)
Allah Ta’ala yang telah menciptakan alam semesta ingin membedakan antara orang-orang Islam yang beriman kepada-Nya dengan orang-orang yang kafir kepada-Nya. Kenapa? Karena Allah-lah yang telah menciptakan kita dan alam semesta ini, Allah yang member rizki, Allah yang menghidupkan dan mematikan, dan Allah menciptakan nikmat dan azab. Maka sudah seharusnya Allah membedakan siapa diantara hamba-Nya yang beriman kepada-Nya untuk mendapatkan nikmat, dan siapa diantara hamba-Nya yang kafir kepada-Nya untuk mendapatkan azab.
Misalnya saja ada seorang Ibu yang memiliki 2 orang anak yang sudah dilahirkan dan diurus sejak kecil. Anaknya yang satu adalah anak yang sangat berbakti kepada orang tua. Sedangkan anak yang satunya lagi adalah seorang anak yang durhaka, bahkan ia tidak mau mengakui ibunya tersebut sebagai orang tuanya. Maka bukankah sudah merupakan sebuah keharusan bagi sang Ibu untuk membedakan antara anaknya yang berbakti dengan anaknya yang durhaka?
Adapun didalam hukum Pancasila, semuanya disamakan. Semua agama sama baiknya dan sama benarnya. Sehingga dengan hukum seperti ini muncullah sebuah pemahaman sesat, yaitu faham Pluralisme yang membingungkan umat. Padahal Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam”. (Qs. Ali-‘Imran : 19)
Bagaimana mungkin bisa semua agama sama benarnya dan sama baiknya. Jika memang semua agama itu baik dan benar, lalu untuk apa diutus Rasulullah dan para Nabi ke bumi ini? Toh semua agama saja. Atau bahkan untuk apa orang-orang kafir Nasrani menjadi missionaries? Inilah faham Pluralisme yang hanya diterima oleh akal yang sakit dan ditolak oleh akal yang sehat.
Lalu dinyatakan di dalam butir II : ”Saling mencintai sesama manusia”.
Pancasila mengajarkan pemeluknya untuk mencintai orang-orang Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu, dan orang-orang kafir lainnya. Sedangkan Allah Ta’ala mengatakan :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka”. (Qs. Al Mujadilah : 22)
Namun menurut ajaran Pancasila : “Harus saling mencintai meskipun dengan orang-orang kafir”.
Allah Ta’ala juga berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman setia yang kalian menjalin kasih sayang dengan mereka”. (Qs. Al-Mumtahanah : 1)
Dia berfirman tentang siapa musuh kita itu :
إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
“sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian”. (Qs. An-Nisa’ : 101)
Renungi ayat-ayat itu dan coba amati butir Pancasila di atas.
Yang satu ke timur dan yang satu lagi ke barat…
Sungguh sangat jauh antara timur dan barat…
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang ajaran Tauhid yang diserukan para Rasul :
وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَه
“…serta tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”. (Qs. Al-Mumtahanah : 4)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tetapi di dalam Pancasila : “Tidak ada permusuhan dan kebencian, tapi harus toleran dan tenggang rasa”.
Sebenarnya Islam bukan tidak memberikan toleransi kepada pemeluk agama lain. Bahkan Islam tidak pernah memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam. Hanya saja, semua orang yang menganut agama-agama lain, haruslah hidup dibawah syari’at Islam dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Dengan demikian mereka akan ikut merasakan keadilan Syari’at Islam, sehingga mereka akan tertarik untuk masuk Islam dan selamatlah mereka dunia dan akhirat. Inilah makna Islam Rahmatin lil ‘alamin. Yaitu Islam menjadi sebuah system bagi kehidupan manusia untuk menggapai kebahagiaan dunia akhirat. Bukan hanya kebahagiaan dunia semata.
Dalam sila III butir I dikatakan : “Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan”.
Inilah yang dinamakan faham Nasionalisme. Dalam butir di atas, kepentingan Nasional harus lebih di dahulukan diatas kepentingan golongan ataupun kepentingan agama. Apabila ada diantara ayat-ayat Allah atau hadits-hadits Rasulullah yang bertentangan dengan kepentingan nasional, maka Allah dan Rasul-Nya harus mengalah. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya”. (Qs. Al-Hujurat : 1)
Didalam Islam, Allah Ta’ala adalah yang tertinggi dan tidak ada yang melebihi Allah. Segala perintah dan larangan Allah haruslah lebih didahulukan daripada sesuatu apapun. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Rabb, sedangkan kita manusia adalah hamba-Nya. Jika Allah Ta’ala sudah menetapkan suatu ketetapan, maka tidak boleh ada pilihan lain bagi kita sebagai hamba-Nya selain menerima dengan ketundukan hati. Allah Subhanahu Wa Ta;ala berfirman :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Qs. Al-Ahzab : 36)
Akan tetapi didalam hukum Pancasila, kepentingan nasional lebih tinggi dan harus didahulukan. Walaupun dengan hal itu harus mengeyampingkan perntah-perintah dan larangan-larangan Allah. Maha suci dan Maha tinggi Allah dari semua ini.
Adapun mengenai UUD 1945, didalam Bab II pasal 3 ayat (1) disebutkan : ”MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Dan didalam Bab VII pasal 20 ayat (1) disebutkan : ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
Dan juga didalam Bab III pasal 5 ayat (1) dikatakan : ”Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kewenangan untuk membuat hukum ini bukan berarti bebas sesuka hatinya. Akan tetapi dibatasi harus sesuai UUD 1945, sebagaimana yang tertera di dalam Bab I pasal 1 ayat (2) : ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Dan juga sebagaimana yang dikatakan didalam Bab III pasal 4 ayat (1) UUD 1945 : ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Bukan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi menurut Undang-Undang Dasar.
Sudah kita ketahui didalam pembahasan Membuat Hukum Adalah Hak Allah Semata, bahwa hak menetapkan hukum/ aturan/ undang-undang adalah hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan bila itu dipalingkan kepada selain Allah maka itu adalah syirik akbar. Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
”Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu bagi-Nya dalam menetapkan hukum”. (Qs. Al-Kahfi : 26)
Allah Ta’ala berfirman :
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Hak hukum (putusan) hanyalah milik Allah”. (Qs. Yusuf : 40)
Tasyri’ (pembuatan hukum/ Undang-Undang) adalah hak khusus Allah Ta’ala. Dan hukum UUD 1945 memberikan hak Allah Ta’ala ini kepada selain Allah. Artinya UUD 1945 telah menempatkan MPR, DPR, Presiden, dan siapa saja yang diberikan kewenangan untuk membuat hukum sebagai tandingan Allah. Sehingga ucapan setiap anggota MPR : ”Saya adalah anggota MPR”, artinya adalah ”Saya adalah Tuhan selain Allah”.
Bahkan bila ada perselisihan kewenangan antar lembaga pemerintahan ini, maka putusan finalnya dikembalikan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang disebutkan di dalam Bab IX pasal 24C ayat (1) : ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.
Jadi, Allah Ta’ala sama sekali tidak diperhitungkan disini. Padahal dalam ajaran Islam, semua harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya :
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (Qs. An Nisa’ : 59)
Al Imam Ibnu Katsir –Rahimahullah- berkata : ”(firman Allah) ini menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk hukum dalam kasus
persengketaannya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta tidak kembali kepada keduanya dalam hal itu, maka dia bukan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir”. [Tafsir Al-Qur’an Al-’Adhim : II / 346]
Didalam Bab XA pasal 28E ayat (2) disebutkan : ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Dan pada ayat (3) : ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Undang-Undang Dasar 1945 jug memberikan jaminan kemerdekaan kepada setiap orang untuk meyakini ajaran apa saja, sehingga pintu-pintu kekafiran, kemusyrikan dan kemurtadan terbuka lebar dengan jaminan UUD. Orang murtad masuk ke agama lain adalah hak kemerdekaannya dan tidak ada sanksi hukum atasnya. Ada yang mengaku sebagai Tuhan, sebagai Nabi, dan menciptakan berbagai aliran sesat lainnya sah-sah saja didalam UUD 1945. Orang meminta-minta ke kuburan, membuat sesajen, tumbal, mengkultuskan seseorang, dan perbuatan syirik lainnya, dia mendapat jaminan UUD. Budaya syirik dan berhalanya mendapat jaminan penghormatan dengan landasan hukum UUD 1945, sebagaimana disebutkan didalam pasal 28 I ayat (3) : ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Padahal dalam ajaran Allah, orang murtad punya dua pilihan, kembali ke Islam atau dihukum mati, sebagaimana yang sudah kita bahas diatas.
Sebagaimana Pancasila, UUD 1945 juga menyamakan antara orang muslim dengan orang kafir. Didalam Bab X pasal 27 ayat (1) disebutkan : ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah membedakan antara orang kafir dengan orang muslim dalam ayat-ayat yang sangat banyak. Allah Ta’ala berfirman seraya mengingkari kepada orang yang menyamakan antara dua kelompok dan membaurkan hukum-hukum mereka :
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
”Maka apakah Kami menjadikan orang-orang islam (sama) seperti orang-orang kafir ? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”. (Qs. Al-Qalam : 35 – 36)
Sebenarnya kalau dijabarkan setiap butir dari Pancasila dan UUD 1945 itu dan ditimbang dengan hukum Allah, tentulah membutuhkan waktu dan lembaran yang banyak. Namun disini kita mengisyaratkan sebagiannya saja. Sekiranya uraian di atas cukuplah sebagai hujjah bagi pembangkang dan sebagai cahaya bagi yang mengharapkan hidayah.
Pertentangan antara Pancasila dan UUD 1945 dengan hukum Allah Ta’ala sangat banyak sekali. Lalu hukum siapakah yang lebih baik? Tentulah hukum Allah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana yang lebih baik. Maka silahkan bagi kita untuk memilih :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (Qs. Al-Maaidah : 50)
(zidan)-Dari berbagai sumber