JAKARTA (Panjimas.com) – Robert Crib Dalam tulisannya pada Buku ‘The Indonesia Killing: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966‘ yang diterbitkan Matabangsa tahun 2000 menulis begini ketika membahas fenomena terjadinya gelombang perpindahan agama usai Pemberontakan PKI 1965. Pada halaman 73-75 buku tersebut Crib menulis begini:
Mungkin sebagian besar dari trauma kejadian tahun 1965-1966 yang membebani masyarakat Indonesia, tersalurkan dalam bentuk gelombang perpindahan agama. Pada tahun keenam setelah pembantaian, diperkirakan 2,8 juta orang berpindah agama menjadi Kristen (baik Protestan maupun Katolik), khususnya di Jawa Timur, Timor Timur, dan Sumatra Utara. Pada saat yang sana, di Jawa orang yang berpindah agama menjadi pemeluk Hindu jumlahnya juga signifikan.
Alasan perpindahan agama itu cukup kompleks. Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru mengharuskan setiap warganegara Indonesia untuk mengakui keberadaan Tuhan dan memeluk salah satu agama, supaya mereka tidak jadi menjadi penganut ateisme yang dianggap berhubungan dengan komunisme sehingga beberapa kasus perindahan agama hanya dilakukan dengan registrasi formal, terlebih lagi sejak tahun 1965, gereja Kristen telah menjadi obyek kecurigaan karena hubungannya dengan Barat. Perpindahan agama yang tercatat seperti tahun 1966 mungkin juga termasuk perpindahan yang telah terjadi jauh sebelumnya yang pada waktu itu tidak pernah diumumkan.
Tetapi bagaimanapun skala perpindahan agama ini telah menunjukan bahwa trauma politik 1965, telah mengguncangkan banyak orang dan membuat mereka kehilangan kepercayaan terhadap nilai-nilai yang dianut sebelumnya, sehingga sebagai solusinya mereka menerima agama baru. Atas guncangan tersebut agama Kristenlah yang mendapat angin segar dan diterima dengan baik. Karena tidak seperti agama Islam, agama Kristen terkesan jauh dari keterlibatan peristiwa konflik politik sebelum tahun 1965 dan juga peristiwa pembantaian, walaupun sebetulnya menurut Kenneth Orr dan tim peneliti dari Universitas Gajah Mada (UGM) dalam laporannya, di beberapa tempat orang Kristen juga terlibat dalam pembantaian.
Lebih jauh lagi yang membedakannya dengan Islam adalah gereja Kristen memiliki pastoral yang bekerja dengan penuh semangat membimbing para tahanan, keluarganya, dan orang-orang dari kelompok kiri pada umumnya. Seperti diceritakan kembali oleh Ibu Yetim para pastor bekerja tanpa mempedulikan pandangan masyarakat terhadap kelompok kiri, sehingga agama Kristen mendapat respek yang sangat baik di antara orang-orang yang sebelumnya hampir tidak punya perhatian sema sekali terhadsap agama.
Dalam kasus agama Hindu, ketertarikan untuk kembali pada kepercayaan Jawa sebelum Islam sebagai upaya mencari stabilitas mungkin merupakan sesuatu yang dianggap penting; agama Hindu juga menarik bagi mereka yang secara politis mempunyai kepentingan untuk menahan ekspansi pengaruh politik Islam.
Perpindahan Massal
Apa yang ditulis Robert Crib bersesuaian dengan kajian yang dilakukan Direktur Pusat Studi Peradaban Islam/PSPI Solo, Arif Wibowo, (Republika/ 17 September 2015). Menurutnya, meskipun PKI mengalami kekalahan pada Pemberontakan 1965, bukan berarti umat Islam tidak menderita kerugian. Euforia menyambut Rezim Orde Baru yang menggusur PKI dan komunisme, juga diikuti dengan penggusuran aspirasi politik Islam di Indonesia. Itu ditambah lagi dengan kerugian demografi keagamaan penduduk Indonesia. Rivalitas dalam tensi tinggi antara politik Islam dengan komunisme pasca G-30S/PKI menyebabkan pihak Kristen Protestan dan Katolik, menangguk keuntungan besar, karena banyak diantara para pengikut PKI yang kebanyakan berasal dari kaum abangan dan kejawen kemudian men jatuhkan pilihan keagamaannya kepada Kristen Protestan dan Katolik. (M.C Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, (Jakarta : Serambi, 2013) hlm. 250.).
Singgih Nugroho, Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengabadikan peristiwa ini dalam tesisnya yang berjudul “Baptisan Massal Pasca Peristiwa 30 September 1965 (studi kasus perpindahan agama ke Kristen di Salatiga dan sekitarnya pada tahun-tahun sesudah 1965)”.
Dalam tesisnya, Singgih Nugroho, sebagaimana di banyak buku lain, menggambarkan betapa tindakan kekerasan yang tidak jarang berujuang pada pembunuhan, yang dilakukan secara kolaboratif antara milisi Islam dalam hal ini Anshor sebagai tertuduh utama dengan pihak militer, telah menjadikan banyak simpatisan PKI memilih menjadi Kristen ataupun Katolik. Averry T Willis menyebut angka yang cukup fantastis, yaitu dua juta orang yang akhirnya memilih menjadi Kristen / Katolik, seperti tercermin dalam judul bukunya“Indonesian Revival : Why Two Millions Came to Christ, meski angka ini diragukan oleh banyak kalangan, karena dinilai terlalu bombastis.
Avery T Willis, seorang missionaris asal Amerika yang menjadi missionaris di Indonesia sejak tahun 1964 dan memimpin Seminari Teologi Baptis Indonesia menyebutkan ada 11 faktor yang menyebabkan perpindahan massal keagamaan ke agama Kristen/ Katolik ini. Tiga diantaranya berkait dengan posisi pengikut PKI yang secara psikologis mengalami ketertindasan akibat agitasi lawan-lawan politiknya, yang berhasil dimanfaatkan oleh para rohaniawan Kristen dan Katolik. Reaction Factor, reaksi berlebihan dari sebagian pemimpin kelompok Islam terhadap orang-orang Islam statistik yang menjadi anggota dan simpatisan PKI telah mendorong orang-orang itu menoleh ke tempat lain untuk memperoleh bantuan spiritual dan perlindungan politik.
Protection Factor, Perlindungan gereja terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan orang yang belum beragama secara sungguh-sungguh, dari pembunuhan dan kehilangan status sosialnya telah memberi rasa simpati banyak orang untuk memeluk Kristen. Service, perhatian dan pelayanan dari lembaga gereja, termasuk di dalamnya pendidikan, bantuan medis dan kebutuhan fisik lainnya, telah mendorong orang-orang untuk tertarik dan masuk ke agama Kristen.
Dalam catatan M.C Ricklefs data kependudukan antara tahun 1960 – 1971, menunjukkan jumlah jemaat dari lima denominasi Protestan yang menjadi subyek kajian Willis tumbuh secara fenomenal dari 96.872 men jadi 311.778, sebuah peningkatan lebih dari 220 persen. Pada tahun 1965-7, tingkat pertumbuhan tahunannya adalah 27,6 pertumbuhan, sementara pada tahun 1968-1971, 13,7 persen. Sebagian besar peralihan keyakinan atau konversi di dalam kajiannya terjadi secara berkelompok. Individu-individu, biasanya adalah pemimpin desa, berbicara diantara mereka, mengenai kemungkinan menjadi orang Kristen secara bersama-sama. Kadang mereka melakukannya sebagai suatu kelompok besar, tetapi yang lebih sering terjadi adalah suatu kelompok akan diikuti kelompok lain yang terkait selama kurun waktu beberapa bulan atau tahun.
Tidak sekedar berpindah agama, dendam ideologis telah mengantarkan pemeluk Kristen/Katolik baru eks PKI ini lebih agresif dalam beragama ketika bersinggung an dengan umat Islam. Ditulis: “Bab ini te lah menunjukkan bahwa agen “kristenisasi” tidak selalu gereja, tetapi juga sebagian warga Kristen eks tapol yang mempunyai sejarah sendiri dalam berhubungan dengan segala hal yang berabau “Islam” semasa hidup di tahanan maupun keluarga mereka semasa pembantaian 1965 – 1966 ….. Keputusan mereka untuk pin dah dari Islam dan konsisten memeluk Kristan serta turut menyebarkannya seusai dibebaskan, walaupun mendapat gugatan baik dari sebagian kalangan Islam maupun umat Kristen sendiri, merupakan bagian penting dari sejarah pergumulan hidup mereka untuk mendefinisikan dirinya dan menciptakan ruang otonom yang memungkinkan untuk menjadi subyek bukan sekedar obyek, sejarah lingkungannya”.(Singgih Nugroho, Menyintas dan Menye berang, Perpindahan Massal Keagaman Pasca 1965 di Pedesaan Jawa, (Yogyakarta : Syarikat, 2008) hlm. 232).
Pesan Kuntowijoyo
Selanjutnya, Arif Wibowo kemudian mengingatkan pesan mendiang cendikiawan Kuntowijoyo. Menurut dia, Kuntowijoyo pernah mengingatkan agar kaum Muslim Indonesia memberikan respons yang tepat dalam menghadapi tantangan realitas. Khususnya dalam menyikapi realiatas kaum marjinal. Jika tidak, maka pihak lain akan mengambil kesempatan itu.
“Sejarah Indonesia menunjuk kan bahwa SI Merah lebih populer dibanding SI putih, dan PKI lebih populer dari Partai-Partai Islam, di kalangan buruh tani dan buruh (industri) karena umat tidak sensitif dengan munculnya proletarianisasi di pedesaan dan perkotaan… Dianaktirikannya buruh tani dan buruh …. Demikian pula terbukti bahwa para aktifis buruh tani dan buruh hanya dipandang sebelah mata oleh umat, seolah buruh tani bukan bagian dari umat (Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epis temologi, Metodologi dan Etika. (Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), hlm. 44).
Selain respon intelektual dalam membangun kesadaran sejarah umat Islam, umat Islam perlu meningkatkan kohesivitas sosialnya dalam mengatasi persoalan kaum marjinal. Di sisi lain, umat jangan sampai terjebak dalam konflik internal– semisal konflik Asy’ariyah versus Wahabiyyah) yang justru semakin melemahkan potensi dan kekuatan umat Islam. [AW/ROL]