PANJIMAS.COM – Kata zalim berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah gelap. Secara umum perbuatan zalim adalah meletakkan sesuatu/ perkara bukan pada tempatnya. Orang yang berbuat zalim disebut zhalimin. Sedangkan lawan kata zalim adalah adil. Adapun yang dimaksud meletakkan sesuatu pada tempatnya adalah meletakkan hukum Allah sebagai dasar pijakan atas semua kebijakan. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5] : 45)
Kalimat zalim bisa juga digunakan untuk melambangkan sifat kejam, bengis, tidak berperikemanusiaan, suka melihat orang dalam penderitaan dan kesengsaraan, melakukan kemungkaran, penganiayaan, kemusnahan harta benda, ketidak adilan dan banyak lagi pengertian yang dapat diambil dari sifat zalim tersebut, yang mana pada dasarnya sifat ini merupakan sifat yang keji dan hina, dan sangat bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia.
Demikian pula apabila kezaliman itu dilakukan oleh seorang pemimpin. Contoh; Presiden yang menetap kebijakan yang membuat rakyat menderita, seperti menaikkan harga BBM mengakibatkan berbagai kebutuhan hidup melonjak, sehingga menyengsarakan rakyat.
Ancaman Pemimpin Zalim
Telah banyak contoh kisah pemimpin yang zalim kepada kepada masyarakat yang dipimpinnya dan Allah tidak mengingkari janjiNya untuk membinasakan para pemimpin zalim.
Pemimpin yang durhaka kepada Rabbnya dan bertindak zalim kepada rakyatnya menjadi sebab dihancurannya suatu negeri. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra’: 16)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang makna ayat di atas, “Kami beri kuasa orang-orang buruknya, lalu mereka bertindak durhaka di dalamnya. Maka apabila mereka telah bertindak seperti itu, aku hancurkan mereka dengan adzab.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir terhadap ayat tersebut)
Dan itulah makna firman-Nya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا فِيهَا
“Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu.” (QS. Al-An’am: 123).
Allah telah menyiapkan adzab yang pedih bagi pemimpin zalim yang menyengsarakan rakyatnya. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat ‘adzab yang pedih” [QS. Asy-Syuuraa : 42].
Dalam hadits ditegaskan bahwa para pemimpin zalim yang menipu rakyat dengan janji-janji palsunya, diharamkan baginya surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يُحِطْهَا بِنُصْحٍ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ. متفق عليه. وفي لفظ : يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاسِ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]. Dalam lafadh yang lain disebutkan : ”Ia mati dimana ketika matinya itu ia dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan baginya surga”
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan turunnya kesusahan bagi para pemimpin zalim penindas rakyat.
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ. وَمَنْ شَقَّ عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. رواه مسلم.
“Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia” [Diriwayatkan oleh Muslim].
Mentaati Pemimpin Zalim?
Pemimpin zalim yang masih menegakkan syariat Islam dalam mengelola negara; Daulah atau Khilafah maka wajib bagi kaum Muslimin untuk mentaatinya.
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.” (Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim).
Namun sebaliknya, harus bersikap kritis melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap pemimpin zalim melalui nasehat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سيد الشهداء عند الله يوم القيامة حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]
Di sisi lain, apabila sang pemimpin zalim itu tidak mau menerapkan hukum Allah atau menegakkan syariat Islam yang mengatur negaranya, maka itu adalah pemimpin thaghut yang wajib diingkari.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
نوح إلى محمد يأمرهم بعبادة الله وحده وينهاهم عن عبادة الطاقوت ، والدليل قوله تعالى (ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطغوت ) النحل آية 36 ، وافترض الله علىجميع العباد الكفر بالطاغوت والإيمان بالله . قال ابن القيم رحمه الله تعالى : معنى الطاغوت ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع
Allah telah mengutus semua Rasul kepada setiap umat mulai Nabi Nuh sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka memerintahkan agar manusia menyembah Allah saja dan melarang menyembah thaghut berdasarkan firman Allah, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu’.” (An-Nahl:36).
Allah mewajibkan kepada tiap-tiap hambaNya untuk mengingkari thaghut dan hanya beriman kepada Allah. Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata, “Thaghut ialah segala yang diperlakukan seorang hamba secara melampaui batas, baik berupa sesuatu yang disembah, diikuti atau yang ditaati.”
والطواغيت كثيرون . ورؤسهم خمسة ، إبليس لعنه الله ، ومن عبد وهو راض ، ومن دعا الناس إلى عبادة نفسه ومن ادعى شيئا من علم الغيب ، ومن حكم بغير ماأنزل الله
Dan Thaghut-Thaghut sangat banyak macamnya dan pembesarnya ada lima; (1) Iblis yang terlaknat, (2) orang yang rela disembah, (3) orang yang mengajak manusia untuk menyembah kepada dirinya, (4) orang yang mengaku mengetahui sesuatu hal yang ghaib, dan (5) orang yang berhukum kepada selain hukum Allah.
Dengan demikian para pemimpin zalim termasuk pemimpin thaghut harus dijauhi, bukan malah dibela (ansharut thaghut) dengan berbagai alasan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ يَكْذِبُونَ وَيَظْلِمُونَ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكِذْبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَيُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Sesungguhnya akan ada setelahku para pemimpin yang berbuat kedustaan dan kezhaliman. Barangsiapa mendatangi mereka kemudian membenarkan kebohongan mereka, atau membantu mereka dalam kezhalimannya, maka ia bukan golonganku dan aku bukan golongannya. Serta ia tidak akan minum dari telagaku. Dan barangsiapa tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu mereka dalam berbuat shalim, maka ia adalah golonganku dan aku adalah golongannya. Dan kelak ia akan minum dari telagaku.” [HR. Ahmad].
Bahkan, bersikap tegas terhadap para pemimpin thaghut telah dicontohkan oleh ulama salaf. Ibnu Taimiyyah dan ulama-ulama lainnya pernah menfatwakan untuk memerangi kaum Tartar, padahal mereka shalat dan puasa, hanya karena masih berhukum kepada kitab Yasiq buatan raja mereka, Jenghis Khan, sampai mereka berhukum kepada syari’at Islam dalam segala perkara.
Yasiq, sebagaimana kata Ibnu Katsir, merupakan kitab yang berisi campuran undang-undang yang bersumber dari berbagai macam agama: kristen, Yahudi, Islam, dan lain sebagainya, dan ada juga yang berasal dari pikiran pembuatnya sendiri, Jengish Khan. Kalau kita perhatikan, undang-undang yang berlaku di hampir seluruh negara di dunia ini sangat serupa dengan Yasiq!
Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah mengatakan:
فمن ترك الشرع المحكم المنزل على محمد بن عبد الله خاتم الأنبياء و تحاكم إلى غيره من الشرائع المنسوخة كفر فكيف بمن تحاكم إلى الياسا و قدمها عليه؟ من فعل ذلك كفر بإجماع المسلمين
Maka barangsiapa yang meninggalkan sya’riat yang muhkam (syari’at Islam) yang diturunkan atas Muhammad bin Abdillah, penutup sekalian nabi, dan ia berhukum kepada selainnya, yaitu syari’at-syari’at yang dimansukh (syari’at-syari’at terdahulu), ia kafir. Maka, bagaimanakah dengan orang yang berhukum kepada Yasa (Yasiq) dan mendahulukannya atasnya (syari’at Islam)? Barangsiapa yang berbuat demikian ia kafir menurut kesepakatan kaum muslimin
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir berbicara tentang berhukum kepada Yasiq, lantas mengatakan:
فمن فعل ذلك منهم فهو كافر يجب قتاله حتى يرجع إلى حكم الله ورسوله فلا يحكم سواه في قليل ولا كثير
Maka barangsiapa yang berbuat demikian (berhukum kepada Yasiq) dari kalangan mereka, maka dia kafir wajib diperangi sampai ia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, lalu tidak berhukum kepada selainnya, sedikit atau banyak.
Doa Berlindung dari Pemimpin Zalim
Menghadapi fitnah (ujian) yang menimpa kaum Muslimin di negeri-negeri mereka karena dikuasi pemimpin yang zalim, menindas dan menyengsarakan rakyat, bukan hal yang mudah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ
“Sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah (berkuasanya) para pemimpin yang menyesatkan.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad, dan al-Darimi)
Umat Islam tak boleh diam, bagi mereka yang memiliki kemampuan maka selayaknya ia menggunakan kemampuannya dalam merubah kemunkaran, baik itu dengan tangan ataupun lisan.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . رواه مسلم
“ Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lidahnya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah (dengan hati) selemah-lemah iman “ (HR.Muslim).
Apabila dalam kondisi lemah, tentu hanya kepada Allah kaum Muslim berharap, yakni dengan memanjatkan doa. Semoga dengan doa rakyat yang terzalimi menjadi senjata agar Allah melindungi hambanya dari penguasa zalim.
اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ، وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، كُنْ لِي جَاراً مِنْ فُلاَنِ بْنِ فُلاَنٍ، وَأَحْزَابِهِ مِنْ خَلاَئِقِكَ، أَنْ يَفْرُطَ عَلَيَّ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَوْ يَطْغَى، عَزَّ جَارُكَ، وَجَلَّ ثَنَاؤُكَ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ.
“Ya Allah, Tuhan langit dan bumi, Tuhan ‘Arasy yang agung, jadilah pendampingku dari fulan bin fulan dan kelompoknya dari makhluk-Mu, (agar) tidak ada seorangpun dari mereka berlaku sewenang-wenang terhadapku atau melampaui batas, pembelaan-Mu amatlah besar, pujian terhadap-Mu amatlah agung, dan tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau“. (HR Bukhari dalam Adab Al Mufrad, no. 707)
Dalam riwayat yang lain:
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَعَزُّ مِنْ خَلْقِهِ جَمِيْعاً، ألله أَعَزَّ مِمَّا أَخَافُ وَأَحْذَرُ، أَعُوْذُ بِاللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، الْمُمْسِكِ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ أَنْ يَقَعْنَ عَلَى اْلأَرْضِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، مِنْ شَرِّ عَبْدِكَ فُلاَنٍ، وَجُنُوْدِهِ وَأَتْبَاعِهِ وَأَشْيَاعِهِ، مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ، اللَّهُمَّ كُنْ لِيْ جَاراً مِـنْ شَرِّهِمْ، جَلَّ ثَنَاؤُكَ وَعَزَّ جَارُكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ (ثلاث مرات).
“Allah Maha besar, Allah lebih mulia dari seluruh makhluk-Nya, Allah lebih mulia dari apa yang aku takuti, aku berindung kepada Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, Yang mengendalikan tujuh langit hingga tidak runtuh ke bumi kecuali denga izin-Nya dari kejahatan hamba-Mu fulan dan bala tentaranya serta pendukung-pendukungnya dari golongan jin dan manusia. Ya Allah, jadilah pendampingku terjauhkan dari keburukan mereka, pujian terhadap-Mu amatlah agung, perlindungan-Mu amatlah besar, Maha suci nama-Mu dan tiada Tuhan yang berhak disembah selain diri-Mu“.(HR Bukhori dan Al Adabul Mufrod, no. 708). Wallahu a’lam.